Minggu, 01 Desember 2019

Memandang Guru, Memandang Waktu


Waktu saya SMP, ada seorang kakak kelas yang suka bikin onar. Bharoto, namanya. Posturnya tinggi tegap, ototnya padat liat. Ruang Guru BP pun jadi tempat nongkrong rutinnya, setara dengan musala bagi saya. Ehem!

Suatu siang, entah waktu bolos atau apa, Bharoto dan kawan-kawannya main basket. Tiba-tiba, bola basket nyelonong masuk ke satu ruang kelas, padahal di situ sedang berlangsung pelajaran Biologi.

Guru Biologi kami seorang perokok berat, berwajah dingin, dan berlengan kekar. Sebutlah namanya Pak Hartono. Melihat bola basket nyasar masuk ke kelasnya, Pak Hartono tetap tenang. Diambilnya bola itu, dibawanya keluar. Kemudian ia memanggil Bharoto yang cengengesan. "Mari ikut saya," katanya.


Oleh Pak Hartono, Bharoto diajak ke halaman belakang sekolah yang sepi. Setiba di sana, Pak Hartono berhenti. Dengan suaranya yang berat, Pak Guru Biologi berkata kepada si murid bengal (sebagaimana belakangan Bharoto ceritakan ke banyak kawan),

"Sekarang, kita lupakan dulu hubungan antara guru dengan murid. Kita berhadapan sebagai laki-laki. Ayo, serang saya!"

Bharoto melongo. Mungkin sedikit ngompol. Tapi sejak hari itu, Bharoto lumayan sembuh dari bengalnya.

***

Saya bisa mengira-ngira respons Anda setelah menyimak cerita saya. Yang sesama mantan murid bengal pasti akan tertawa. Yang guru akan tersenyum, mungkin ada yang mendukung tindakan Pak Hartono. Yang pengamat pendidikan dan pakar psikologi akan kaget. "Ya Tuhan, itu kan anak-anak! Kenapa dibegitukan? Itu cara mendidik yang salah!"

Berkali-kali saya ketemu kasus serupa. Bukan kasus guru menantang murid berkelahi lho ya. Tapi kasus bagaimana orang-orang menanggapi cara para guru dalam menghadapi murid-murid mereka.

Secara agak simplistis, saya membaginya menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah yang menolak habis-habisan sikap keras kepada murid, apalagi jika sudah mengarah ke hukuman fisik. Golongan kedua adalah mereka yang mendukung hukuman keras, dengan alasan di masa lalu pun mereka menjalaninya.

Rata-rata, golongan pertama melihat hukuman keras sebagai cara yang seratus persen keliru. Seorang anak seharusnya dipersuasi, dikondisikan, diberi lingkungan yang sehat, diberi stimulasi positif, sehingga semua itu akan bersinergi membentuk karakter baik pada diri anak didik.

Jika ada anak buruk kelakuannya, dia dianggap semata-mata korban. Korban dari pendidikan yang salah, korban dari orangtua yang abai, korban dari lingkungan sekitar yang berpendidikan rendah. Pendek kata, murid lebih banyak benar, guru lebih sering salah.

Adapun golongan kedua mendukung hukuman keras, kebanyakan atas nama nostalgia.

"Dulu, waktu kecil, kalau salah ya pantat saya dipukul pakai rotan. Dan nyatanya saya oke-oke saja, tidak lantas jadi gila. Pendidikan tuh yang tegas, jangan lembek. Dikit-dikit HAM, dikit-dikit perlindungan anak. Dulu, saya ditempeleng bapak saya. Dulu...dulu...."

Saya ingat, salah satu orang yang berpendapat begitu adalah budayawan Sudjiwo Tejo.

***

Tentang yang pertama, saya tidak tahu, apakah kelompok ini pernah mengalami didatangi murid yang bawa celurit, sambil mencak-mencak menantang carok gurunya. Atau apakah mereka pernah ditantang baku pukul oleh muridnya, karena si guru memperingatkan murid yang merokok di kelas.

Kisah-kisah ekstrem seperti itu nyata terjadi. Sebagian ada di medsos, sebagian lainnya saya dengar langsung dari rekan saya yang guru.

Dalam pengamatan selintas saya, kalangan yang selalu berpikir sangat ideal rata-rata tidak menyentuh aneka jenis realitas kehidupan semua anak. Maaf, ini memang berbau tuduhan. Tapi pengalaman emak saya sendiri, sewaktu ia masih mengajar di sebuah SMP papan bawah di Jogja, bisa disimak.

Emak saya pernah mengeluh, "Ya wajar saja guru-guru di sekolah-sekolah favorit itu cara mendidiknya lembut-lembut, murid mereka manis-manis dan berprestasi. Itu bukan karena gurunya pada pinter. Tapi karena sejak penerimaan siswa pun, yang diterima sudah pinter-pinter, dari keluarga yang baik dan nggak pernah kekurangan. Jadi bahan dasarnya sudah bagus duluan."

Hahaha. Diam-diam emak saya cemburu, dan saya sangat memahami itu. Kualitas sekolah bukan hanya terkait kualitas guru, namun juga kualitas murid sejak masuk kelas satu. Walhasil, sistem penilaian sekolah pun ala-ala pasar bebas: titik start-nya tidak sama, tapi garis finish-nya sama. Paham maksud saya? Belum?

Begini, lho. Karena ada beberapa sekolah favorit di masa pra-zonasi, banyak murid yang selalu juara di SD masing-masing pada berbondong-bondong masuk ke SMP favorit. Yang lolos seleksi tentu saja yang nilainya tinggi, atau nilai tinggi plus sumbangan uang gedung yang juga tinggi.

Walhasil, formasi final murid baru di sekolah-sekolah favorit sudah pasti merupakan pasukan anak-anak pintar dan manis. Anak-anak manis semacam itu, faktanya, mayoritas berasal dari keluarga berada. Mereka anak-anak orang mapan yang tak pernah kenal apa itu kehidupan berkekurangan.

Dunia sekolah favorit berbeda dengan sekolah-sekolah swasta sebagaimana tempat emak saya diperbantukan untuk mengajar sebagai guru negeri. Sebagai sekolah tingkat bawah, murid-muridnya pun dari kalangan cupet. Orangtua mereka tak berpendidikan, lingkungan mereka miskin dan tidak terpelajar, referensi-referensi kehidupan mereka pun berbeda jauh dengan apa yang diakses para anak orang kaya yang masuk sekolah favorit.

Bila jenis kenakalan murid di sekolah favorit maksimal bolos dan berkelahi, di sekolah macam tempat emak saya bisa sampai narkoba dan nusuk orang. Jadi, memang ada titik start nasib murid-murid yang berbeda, tapi kualitas keguruan para pendidik dinilai dengan alat ukur yang sama. Fair? Enggak? Nah, sekarang saya yakin Anda sudah mulai paham maksud saya.

Sekarang, mari kita geser ke golongan kedua. Golongan kedua saya lihat cuma terjebak dalam pusaran nostalgia. Mereka menganggap apa-apa yang berasal dari sejarah mereka, meski dari masa lalu yang sangat jauh, sudah pasti merupakan jaminan hal-hal positif. "Dulu, waktu saya kecil...." Halah.

Akibatnya, hukuman fisik yang sebenarnya cuma cocok diterapkan di zaman kemerdekaan pun dianggap relevan-relevan saja untuk masa kini. Alasannya: pendidikan karakter harus dijalankan secara tegas.

Cara pandang semacam itu, pada hemat saya, lumayan berbahaya. Setiap zaman melahirkan bahasa khas yang berbeda dengan zaman lainnya. Itu yang acapkali tidak dipahami. Bahasa selalu terkait dengan konsensus, konstruksi sosial, pergeseran tradisi dan nilai, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam pendidikan, metode mendidik yang dijalankan para guru sangat terkait dengan bahasa ini.

Dalam "bahasa" masa lalu, memukul anak itu barangkali oke-oke saja. Secara konstruksi sosial di zamannya, hal itu tidak mengapa. Dan karena ia lazim, efek psikologis bagi anak-anak pun tidak akan berlebihan. Anak akan takut dengan guru yang menghukumnya, lalu berdisiplin, tapi tidak tumbuh dendam dan trauma. Kenapa? Ya karena memang di masa itu si anak melihatnya sebagai hal normal belaka.

Adapun di zaman ini, sudah terjadi pergeseran konstruksi, tradisi, dan kelaziman. Ilmu pengetahuan, dalam hal ini psikologi perkembangan, pun sudah menemukan bahwa hukuman sangat keras apalagi yang bersifat fisik tidak lagi efektif untuk membentuk karakter anak-anak.

Artinya, banyak guru bersepakat bahwa cara semacam itu harus ditinggalkan. Dan karena ia harus ditinggalkan, pelan-pelan ia menjadi tidak lazim lagi, anak-anak pun tak lagi sering melihatnya muncul di lingkungan sosial mereka. Akibatnya, jika di masa ini seorang anak mengalaminya, efek traumatisnya jelas akan menancap sangat dalam. Jauh lebih dalam daripada di zaman ketika Mbah Sudjiwo Tejo masih SD.

***

Saya sendiri tidak pernah menjadi guru, tidak pernah menjalani dinamika pengalaman lapangan sebagai guru. Jadi, saya tidak bisa juga memberikan rekomendasi tentang apakah cara-cara Pak Hartono kepada Bharoto di kisah pembuka tadi masih boleh dijalankan, ataukah wajib sepenuhnya ditinggalkan.

Sebagai orangtua dari anak yang sudah sekolah, saya hanya bisa menyajikan perbandingan, sembari berharap guru-guru yang mendidik anak saya akan memilih langkah terbaik. Agar anak saya tumbuh dengan "benar", berdisiplin, tapi kalau bisa ya tetap diperlakukan dengan manis. Ini keinginan wajar semua orangtua, bukan?

Selebihnya, saya pasrah saja, toh saya bukan tipe orangtua wali murid yang kebanyakan tuntutan hehehe.

Tapi ngomong-ngomong, saya ingin membagi satu cerita lagi. Kali ini dari seorang peserta kelas menulis saya di Bangka, dua pekan lalu. Dia guru di sebuah SMP Muhammadiyah. Dengan inisiatif yang canggih, Mas Guru melakukan "riset" untuk mengetahui kenapa anak-anak didiknya banyak yang melanggar peraturan, dan tidak berubah sedikit pun meski sudah diberi hukuman keras, bahkan fisik.

Lalu, ketemulah penyebabnya. Ternyata, anak-anak bengal yang kebanyakan laki-laki itu punya satu naluri: cari perhatian ke gadis-gadis! Jadi ketika mereka dihukum keras, lebih-lebih lagi fisik, mereka malah akan bangga dan merasa jadi hero di hadapan cewek-cewek cantik di sekolah mereka. Hahaha!

Berangkat dari temuan itulah, konsep hukuman yang baru diaplikasikan. Saat kepergok melakukan pelanggaran, anak-anak bengal itu dihukum mengisi botol-botol plastik dengan pasir. Kalau sudah penuh, botol-botol berisi pasir itu akan dipakai sebagai asesoris di taman sekolah.

Ternyata, terobosan itu sangat efektif. Angka kenakalan jauh berkurang. Penjelasannya pun terang benderang: seorang anak bengal tidak akan tampak jadi superhero jika dia cuma dihukum mengisi botol-botol plastik. Disuruh push up itu "gagah". Tapi, aduh, menuangkan pasir ke botol-botol plastik? Tentu amat jauh dari citra keperkasaan ala-ala Gundala.

Riset kecil-kecilan semacam itu agaknya diperlukan untuk menetapkan metode mendidik yang paling pas bagi siswa di "lingkup sosiologis" masing-masing. Jika beneran Mas Menteri Nadiem menghapus tumpukan tugas administratif para guru, niscaya kesempatan untuk membuat inovasi-inovasi demikian akan terbuka lebar.

Itu saja. Anggaplah itu kado ala kadarnya dari saya, di Hari Guru 25 November. Selamat.

Iqbal Aji Daryono bapak dua anak

0 komentar:

Posting Komentar